Melamban Bersama Kabin Kebun: Sabar Sebelum Subur

Share Article

Seperti sehelai benang merah, pertemuan dengan Kabin Kebun justru dimulai sejak awal Pable lahir, di mana pemilik Kabin Kebun, Teh Ukke, membeli produk Pable pada 2019, sebab merasa menemukan produk fashion yang merepresentasikan nilai-nilai yang ia anut. Pada 2025, Pable kemudian menyambangi Kabin Kebun, dan mengulik kisahnya sembari duduk di kabin yang sejuk.

Kabin Kebun merupakan penginapan yang dikelola oleh satu keluarga; Teh Ukke, Sang Suami yaitu Om Ucok, dan anak semata wayangnya yaitu Niar. Kabin dibuka untuk pengunjung setiap akhir pekan, dan selalu penuh dengan pengunjung yang selalu harus advance-booking demi mendapat kesempatan menginap di Kabin Kebun. Sejak 2019, setidaknya sudah ada 1500-2000an pengunjung yang pernah merasakan langsung pengalaman menginap dan melakukan aktivitas lain yang disediakan Kabin Kebun.

Kabin Kebun terletak di Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lokasinya yang berada di ketinggian kurang lebih 1.160 mdpl membuat Kabin Kebun memiliki udara yang jauh dari polusi dan suasana yang cocok untuk staycation dalam rangka melepas penat dari hiruk pikuk kehidupan yang terlalu bising nun jauh di kota.

Keluarga kecil Teh Ukke dahulu memiliki kehidupan yang cenderung sama dengan kehidupan orang-orang lain di Ibukota; memiliki rumah di tengah kota, pekerjaan kantoran yang mapan, dan gaya hidup modern. Suatu hari Niar, Sang Anak, menanyakan sebuah pertanyaan sekaligus tuntutan yang ia hasilkan dari aktivitasnya membaca buku; sadarkah ia bahwa generasinya – generasi boomer, generasi X – adalah generasi yang eksploitatif dan destruktif. Segala hal akan dilakukan atas nama pembangunan dan keuntungan, tapi lupa untuk mengembalikan kepada alam. Tuntutan dan protes ini Teh Ukke sikapi dengan serius, yang membuatnya berpikir; apakah menjadi eksploitatif dan destruktif satu-satunya cara mencapai kebahagiaan hidup?

Dari situlah Teh Ukke dan keluarga perlahan meredefinisikan gaya hidup mereka. Kemudian setelah lama berembug dan menyamakan pemikiran, pada 2016 mereka sepakat untuk meninggalkan Ibukota dan pindah ke sebuah kampung kecil di Cisarua. Tentu pengorbanan dilakukan tidak sedikit. Bahkan setelah mendirikan penginapan, penghasilan yang didapat hanya 40% dari penghasilan di Ibukota. Namun, hal ini mengajarkan keluarga kecil ini satu hal penting; bahwa dengan gaya hidup yang tepat, keinginan dan kebutuhan dapat diatur dengan baik. Gaya hidup konsumtif di Ibukota melahirkan kebutuhan akan hal-hal materiil yang banyak, sementara sesuatu yang Teh Ukke dan keluarga pelajari semenjak hidup di desa adalah; pada esensinya, tidak terlalu banyak yang manusia butuhkan untuk bahagia. Cukup itu baik. 

Gaya hidup yang tepat itu adalah slow living, hidup melamban. Teh Ukke begitu menekankan bagaimana terma slow living kerap disalahartikan menjadi hidup malas, hidup yang hanya cocok untuk orang tua pensiunan. Menurut Teh Ukke, slow living yang tepat adalah gaya hidup yang mindful atau penuh kesadaran. Hidup dengan tempo cepat melahirkan keputusan-keputusan yang tidak dipikirkan dengan matang. Terutama dengan sikap konsumtif, kita sudah dikondisikan untuk segera membeli, membeli, membeli entah dengan alasan apapun; mumpung masih tren, mumpung masih promo, mumpung sedang butuh, dan mumpung-mumpung yang lain. Kehidupan slow living mengajarkan kita untuk mundur barang sejenak, lalu memikirkan untuk apa barang yang kita beli ini? Apakah betul butuh, atau kebutuhan itu sengaja kita buat-buat? Lalu, apabila sudah selesai menggunakan, apakah akan dibuang?

Seringkali dalam kehidupan konsumtif yang mengikuti tren dengan cepat, kita terkadang gagal untuk mendefinisikan diri sendiri dan cenderung membiarkan orang lain mendefinisikan diri kita. Kita dibingkai untuk berpikir bahwa kepribadian diri ini dibentuk oleh tren sesaat, kalau tidak segera mengikuti, kita akan dicap kehilangan jati diri. Padahal sebaliknya, berjingkat dari tren satu ke lainnya membuat kita sendiri bingung. Alasan slow living atau melambankan diri juga untuk mengambil kembali kontrol atas diri; karena tiap tindakan diambil dengan penuh kesadaran. Apakah barang yang sedang tren ini memang benar sesuai dengan kepribadian diri? Apakah perlu? Pembicaraan Pable dengan Teh Ukke mengalir melalui isu yang jauh lebih besar daripada sekedar gaya hidup slow living; krisis iklim, otonomi diri, sistem ekonomi, dan seterusnya.

Menurut Teh Ukke, idiom “waktu adalah uang” membawa manusia kepada jebakan, bahwa menjadi cepat artinya menjadi lebih baik. Padahal, apapun yang didapatkan dengan cepat atau instan selalu bersifat disposable, contohnya fashion. Semakin cepat sesuatu dibuat ulang, tentu saja semakin cepat barang lama akan dibuang. Hal ini perlu menjadi kekhawatiran bersama. Sayangnya tidak banyak orang mengerti hal ini. 

Inilah juga yang membuat Teh Ukke mengembangkan sebuah sistem ekonomi alternatif bernama Ekonomi Solidaritas, sebagai bagian dari perlawanan atas sistem ekonomi yang sekarang yaitu kapitalis yang destruktif dan eksploitatif, seperti yang Niar katakan. Bukti-bukti statusquo sudah jelas memperlihatkan bahwa sistem ekonomi kapitalisme membuat manusia serakah dan tidak pernah merasa cukup sehingga terus menerus meminta lebih. Menciptakan mesin-mesin pengotor bumi untuk membuat bisnis lebih “produktif” dan melakukan mass-production agar meningkatkan profit tidak akan berjalan hand-in-hand dengan bisnis seperti Pable, ujarnya, begitu juga dengan penginapan Kabin Kebun. Teh Ukke menganggap bahwa harus ada challenge terhadap sistem ekonomi semacam ini. 

Kabin Teh Ukke didesain by sense oleh keluarga, namun dibangun dengan bantuan 12 tetangganya. Dalam pembangunannya, hanya material lama yang digunakan, sebisa mungkin tidak memakai material baru. Kesederhanaan ini yang menjadi sesuatu yang berbeda. Waktu membuat kabin, proses pembuatannya terbalik; bukan dari desain sesuai selera lalu dicari materialnya layaknya bangunan lain, tapi material yang sudah tersedia dimanfaatkan pembangunan. Itulah alasan mengapa desain kabin unik dan tidak mengikuti gaya tertentu, sebab Teh Ukke tidak ingin melahirkan kebutuhan-kebutuhan baru. Hal ini kurang lebih memiliki semangat yang sama dengan Pable; Pable mengolah fabric dari kain bekas yang dikelompokkan berdasarkan warnanya, maka hasil dari tiap produksi akan bergantung pada kondisi kain bekas yang dipakai. Prosesnya bernama asset based thinking, menghasilkan sesuatu yang lebih berkelanjutan sebab tidak menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru.

Teh Ukke menyinggung bagaimana budaya memilah sampah belum menjadi budaya di tengah masyarakat Indonesia, padahal sampah rumah tangga banyak dan melimpah. Maka di Kabin Kebun, pengunjung diajak untuk melakukan pemisahan limbah rumah tangga, yang mana nanti sampah anorganik seperti limbah kertas akan dipakai untuk material kertas daur ulang skala rumahan yang dibikin Om Ucok. Hasilnya pun membuat pengunjung Kabin Kebun terkagum. Tidak hanya itu, pengunjung pun diperbolehkan untuk “meramban” di kebun, agar dapat merasakan kebahagiaan mengkonsumsi sayur atau buah organik yang segar langsung dari kebunnya. Keterlibatan pengunjung dalam tiap aspek slow living Teh Ukke sekeluarga lah yang membuat pengalaman menginap di Kabin Kebun menjadi sangat berharga dan langka. 

Pable merasa bercermin ketika melihat, mendengar, dan merasakan kisah Kabin Kebun, sebab persamaan kami terpampang jelas dan nyata: Pable dan Kabin Kebun menggiatkan kerja-kerja perawatan bagi manusia, pengetahuan, dan bumi. Nilai-nilai ini menghasilkan sudut pandang yang lebih holistik & sirkuler terhadap kehidupan manusia di bumi, yang harus berbuat baik pada sesama, dan pada tanah yang ia pijaki.