Tokoh – Tobat Ekologis: Seruan Paus Fransiskus akan Kewajiban Relijius Merawat Alam

Share Article

Audiensi mingguan menjadi tradisi setiap hari Rabu pagi, di alun-alun Basilika Santo Petrus di Kota Vatikan. Setelah menyampaikan khotbah yang kemudian diterjemahkan ke berbagai bahasa, Paus berkeliling di sekitar alun-alun, menyapa ribuan orang dari seluruh penjuru dunia yang biasanya berebut untuk meminta berkat, berswafoto, ataupun sekadar berjabat tangan dengan tokoh tertinggi agama Katolik dunia itu. Namun, kabar menyedihkan datang beberapa minggu terakhir, ketika Paus tidak lagi bisa menemui umat dalam audiensi mingguan akibat jatuh sakit pada Februari 2025 lalu, diduga karena penyakit pneumonia. Saat ini, kondisi Paus telah berangsur membaik, dan Pable ingin merawat memori Sang Paus dengan membicarakan gagasannya yang paling terkenal; pertobatan ekologis. 


Pable kembali ke beberapa bulan lalu, ketika istilah “tobat ekologis” muncul di radar politik Indonesia, sebagai ekspresi keprihatinan atas jauhnya pemeluk agama – di negara yang luar biasa relijius ini – dari peran-peran perlindungan lingkungan hidup. Pertobatan ekologis adalah sebuah kerangka berpikir berlandaskan pada nilai-nilai spiritualitas dan ekologis, yang dicetuskan Paus Fransiskus yang menjabat sebagai Paus Gereja Katolik sejak 2013 hingga sekarang. Pertobatan ekologis bermakna proyeksi ketaatan spiritual umat beragama – dalam konteks ini, Katolik – dalam bentuk perlindungan lingkungan hidup. 


Istilah pertobatan ekologis berasal dari ensiklik Paus Fransiskus berjudul “Laudato’ Si” atau “Terpujilah Engkau” yang terbit pada 2015 silam. Dalam tulisannya ini, ia menggarisbawahi bagaimana umat beragama acuh dengan krisis lingkungan. Paus Fransiskus mengibaratkan bumi sebagai “saudari” pemelihara dan pengasuh, yang sedang “menjerit” kesakitan akibat ulah kita. Ensiklik ini membahas secara mendalam bentuk-bentuk krisis lingkungan yang terjadi, mulai dari krisis iklim, polusi, krisis limbah, hilangnya keanekaragaman hayati, krisis air, hingga kesenjangan ekonomi dan kemerosotan kelayakan hidup manusia akibat masalah lingkungan. Paus Fransiskus menyambungkan permasalahan nyata ini dengan hikmat cerita-cerita dari Alkitab. Tidak berhenti di situ, Paus Fransiskus menawarkan solusi berkelanjutan atas permasalahan ini, baik secara individu maupun secara struktural. Di sinilah istilah pertobatan ekologis muncul, ditawarkan sebagai sebuah kerangka berfikir bahwa sebagai umat beragama yang mengimani keberadaan Tuhan, mestilah berusaha untuk menghargai dan melindungi karya Tuhan yaitu alam semesta; bahwa kejahatan terhadap alam merupakan dosa terhadap diri sendiri dan dosa terhadap Tuhan. 
 

Dalam Laudato’ Si, Paus Fransiskus mengutip Santo Fransiskus dari Assisi – yang juga merupakan panutannya dan alasannya memilih nama Fransiskus sebagai nama kepausannya – , mengenai bagaimana hubungan yang sehat dengan lingkungan hidup merupakan salah satu dimensi pertobatan manusia yang utuh. Pertobatan ekologis ini perlu menumbuhkan rasa syukur atas anugerah Tuhan, dependensi antar makhluk hidup, dan juga akuntabilitas atau rasa tanggung jawab atas alam. 


Kekaguman atas pemikiran Paus Fransiskus ini mendorong Pable menelisik latar belakang pribadinya. Jorge Mario Bergoglio – nama lahir Paus Fransiskus – merupakan orang Amerika Latin pertama yang terpilih menjadi Paus. Lahir dan besar di Argentina, jejak aktivismenya rupanya begitu kental, sehingga membuatnya dikritik golongan konservatif atas pemikiran-pemikirannya, terutama pendapatnya bahwa gereja perlu lebih terbuka pada komunitas LGBTQIA+ dan menyerukan dekriminalisasi komunitas tersebut di seluruh dunia. Paus Fransiskus juga seorang pengkritik vokal kapitalisme dan konsumerisme – yang juga terlihat di Laudato’ Si, dari caranya memandang bahwa krisis iklim disebabkan oleh ketamakan manusia untuk mengambil sumber daya tanpa bertanggung jawab atas alam – . Media-media arus utama sering menggambarkan Paus Fransiskus sebagai pembaharu kepausan yang menganut nilai-nilai progresif. 


 Seruan pertobatan ekologis perlu disikapi sebagai seruan yang melampaui seruan relijius. Paus Fransiskus menulis sesuai kapasitasnya sebagai seorang Paus, maka tak heran pembahasan di dalam Laudato’ Si merujuk kepada ajaran agama Katolik. Akan tetapi, alangkah baiknya apabila tulisan ini dibaca dan diresapi oleh orang awam. Paus Fransiskus juga menekankan bahwa pertobatan ekologis ini bukan merupakan seruan individu, akan tetapi seruan komunal – baik kepada para pemegang kebijakan maupun warga dunia pada umumnya. Pertobatan ini – seperti halnya pertobatan dalam hal lain – juga tidak bersifat opsional atau sekunder. Pertobatan ekologis merupakan tanggung jawab, kewajiban manusia sebagai subjek utama dalam masalah-masalah lingkungan hidup yang muncul. Apabila tidak dijalankan, tidak hanya hubungan spiritual manusia dengan ciptaan dan Sang Pencipta rusak, manusia itu sendiri juga akan merasakan kehancuran. Meminjam semangat Paus Fransiskus, perkembangan teknologi, ekonomi, dan sains apabila tidak dibarengi dengan perkembangan sosial dan moral pada akhirnya akan melawan manusia.